Pagi itu mungkin pagi yang biasa bagi 150-an teman-temanku angkatan 2007. Kuliah pakar di jam 08.00 WIB. Masuk isi absen masing-masing lalu duduk manis memperhatikan kuliah dosen sambil sesekali mancatat keyword dan informaasi panting yang tidak ditampilkan dalam power point dosen. Bagi saya sendiri pun melakukan aktivitas yang mungkin tidak jauh berbeda dgn teman-teman yang lain. Yang beda adalah hari ini saya sukses berangkat tidak terlambat. Saya ingat terakhir saya masuk kuliah pagi jam 08.00 tuh seminggu yang lalu, tepatnya saat Kuliah pengantar blok. Sedangkan yang lainnya lolos semua.
Kuliah berjalan dengan tenang dan lancar sehingga pemikiran saya untuk fokus dengan materi Farmakologi : Pemilihan Obat yang Aman pada Masa Hamil dan Laktasi berjalan mulus. Sampai muncullah sebuah pertanyaan dari dr. Isnatin Miladiyah, M.Kes. " Apa itu dispiradamol? Bagaimana efek kerjanya?". Whuss... Sejenak kelas yang diisi kurang lebih 150-an kepala itu terdiam. Tak ada yang mengangkat tangan untuk menjawab, selain hanya bisik-bisik dengan teman diamping kanan atau kiri. Kebekuan pecah dengan kalimat-kalimat nasihat dari sang dosen. " Kalian harus familiar dengan nama obat-obatan. Saat ini saya tidak menekankan kalian untuk hafal dosis setiap obat tetapi yang harus kalian pahami adalah bagaimana mekanisme obat itu dalam tubuh. Ingatlah kalau kalian ingin menjadi dokter dan praktek kalian harus bermental layaknya dokter seorang dokter mulai dari sekarang. Sehingga kelak kalian mampu mengkomunikasikan semua prosedur terapi dengan jelas. Dan kemudian pasien yakin akan keputusan itu.Kalau kalian tidak tahu kerja obatnya bagaimana kalian bisa menjelaskan pada pasien... ". Dengan penuh semangat ia ucapkan kata-kata dengan penuh percaya diri.
Mental seorang dokter. Ya itu lah yang kemudian saya pikirkan disisa waktu kuliah itu. Mental seorang dokter sangat erat dengan bagaimana kita menyusun proses berpikir dengan terstruktur rapih dan strategis. Ingatan saya kemudian pergi ke beberapa bulan yang lalu saat diskusi kasus Program Pengenalan Klinik (PPK) di salah satu RSUD di DIY. Itulah kali pertama saya berdiskusi dengan pakar dan kemudian argumen saya di kritisi habis-habisan oleh dokter spesialis yang membimbing kami. Dia bilang, “Kalian tidak bisa seperti ini. Pola pikir kalian harus runut mulai dari anamnesis dan pemeriksaan yang tepat kemudian rencana terapi yang rasional”.
Berpikir runut memang akan mengantarkan dokter pada penemuan masalah yang ada pasien dan kemudian menanganinya secara komperhensif. Saya juga ingat bahwa dr.Isnatin mengatakan, “Kewajiban dokter-lah untuk menanyakan semua keluhan pasiennya. Dan apabila di kemudian hari terjadi sebuah masalah karena sang dokter lupa menanyakan, maka dokterlah yang harus disalahkan. Bukan pasiennya. Karena pasien tidak pernah salah”.
Selain pola pikir yang terstruktur, mental dokter yang harus dimiliki adalah bagaimana ia mampu untuk membangun sebuah kepercayaan antara dirinya dengan pasien. Pasien pasti menaruh harapan besar terhadap dokternya. Saya pernah mengalami ini walaupun belum resmi menjadi dokter. Saat kakak saya mengalami dislokasi di articulatio genu dekstra. Ia merasa sangat kesakitan sekali. Terkadang hingga ia terbangun tengah malam dari tidurnya akibat rasa sakit tersebut. Setiap saya pulang kuliah dan itu sudah lewat petang ia selalu bertanya, “Yo, kira-kira kaki gw ini bisa cacat selamanya ga y a?” atau “ Kok ada bunyi kretek-kretek ya kalau kakinya gw digerakin” atau yang paling sering “Kapan ya gw bisa sembuh?”.
Saya jawab semua pertanyaannya sesuai apa yang saya pelajari di teksbook. Mulai struktur anatomi di daerah dengkul, kerusakan yang terjadi kalau ada trauma seperti itu, dan bagaimana munculnya nyeri yang berat dan lain-lain. Pokoknya kayak diskusi tutorial dengan satu orang yang superior gitu lah. Dan yang saya lihat darinya adalah wajah yang sangat yakin akan kebnaran ucapan saya. Dari wajahnya muncul pengharapan akan sesuatu yang dapat mengatasi kegelisahannya. Tak ada bantahan yang di utarakan sama sekali
Saya juga pernah mengalami suatu suasana sulit mengenai realitas kepercayaan di lapangan. Waktu itu kejadiaannya saat saya menjadi peserta PPK. Di akhir anamnesis di bangsal penyakit dalam pasien bertanya, “ Mas dokter, kira-kira ayah saya bisa sembuh ga ya?” Saya sejenak terdiam. Bingung untuk menjawabnya. Penyakit gagal jantung untuk pasien lansia tentunya sangat berat. Berat untuk mengatakan sesuatu yang membuat pasien dan keluarganya sedih. Tapi pasien dengan penuh kepercayaan terus menatap menunggu jawaban dengan penuh kepercayaan bahwa orang yang ia anggap dokter didepannya akan menjawab sebuah kebenaran.
Mungkin hal ini juga terjadi dengan hubungan dokter dengan pasiennya di seluruh dunia ini. Akan ada sebuah kepercayaan pasien terhadap dokter yang merawatnya. Bagi dokter yang bermental baik tentu akan menjawab kepercayaan ini dengan sebuah perlakuan yang akan menentramkan pasiennya. “Rawatlah pasienmu sebaik engkau merawat penyakitnya”. Kira-kira seperti itu kata Patch Adams
Sebuah pelajaran pagi itu sangat berarti. Karena saya paham bahwa pembentukan dokter yang baik tidak hanya sebagus nilai-nilai Indeks Prestasi saja. Tapi ada sebuah sisi pembangunan mental dokter yang harus dibangun dari sekarang.
Kuliah berjalan dengan tenang dan lancar sehingga pemikiran saya untuk fokus dengan materi Farmakologi : Pemilihan Obat yang Aman pada Masa Hamil dan Laktasi berjalan mulus. Sampai muncullah sebuah pertanyaan dari dr. Isnatin Miladiyah, M.Kes. " Apa itu dispiradamol? Bagaimana efek kerjanya?". Whuss... Sejenak kelas yang diisi kurang lebih 150-an kepala itu terdiam. Tak ada yang mengangkat tangan untuk menjawab, selain hanya bisik-bisik dengan teman diamping kanan atau kiri. Kebekuan pecah dengan kalimat-kalimat nasihat dari sang dosen. " Kalian harus familiar dengan nama obat-obatan. Saat ini saya tidak menekankan kalian untuk hafal dosis setiap obat tetapi yang harus kalian pahami adalah bagaimana mekanisme obat itu dalam tubuh. Ingatlah kalau kalian ingin menjadi dokter dan praktek kalian harus bermental layaknya dokter seorang dokter mulai dari sekarang. Sehingga kelak kalian mampu mengkomunikasikan semua prosedur terapi dengan jelas. Dan kemudian pasien yakin akan keputusan itu.Kalau kalian tidak tahu kerja obatnya bagaimana kalian bisa menjelaskan pada pasien... ". Dengan penuh semangat ia ucapkan kata-kata dengan penuh percaya diri.
Mental seorang dokter. Ya itu lah yang kemudian saya pikirkan disisa waktu kuliah itu. Mental seorang dokter sangat erat dengan bagaimana kita menyusun proses berpikir dengan terstruktur rapih dan strategis. Ingatan saya kemudian pergi ke beberapa bulan yang lalu saat diskusi kasus Program Pengenalan Klinik (PPK) di salah satu RSUD di DIY. Itulah kali pertama saya berdiskusi dengan pakar dan kemudian argumen saya di kritisi habis-habisan oleh dokter spesialis yang membimbing kami. Dia bilang, “Kalian tidak bisa seperti ini. Pola pikir kalian harus runut mulai dari anamnesis dan pemeriksaan yang tepat kemudian rencana terapi yang rasional”.
Berpikir runut memang akan mengantarkan dokter pada penemuan masalah yang ada pasien dan kemudian menanganinya secara komperhensif. Saya juga ingat bahwa dr.Isnatin mengatakan, “Kewajiban dokter-lah untuk menanyakan semua keluhan pasiennya. Dan apabila di kemudian hari terjadi sebuah masalah karena sang dokter lupa menanyakan, maka dokterlah yang harus disalahkan. Bukan pasiennya. Karena pasien tidak pernah salah”.
Selain pola pikir yang terstruktur, mental dokter yang harus dimiliki adalah bagaimana ia mampu untuk membangun sebuah kepercayaan antara dirinya dengan pasien. Pasien pasti menaruh harapan besar terhadap dokternya. Saya pernah mengalami ini walaupun belum resmi menjadi dokter. Saat kakak saya mengalami dislokasi di articulatio genu dekstra. Ia merasa sangat kesakitan sekali. Terkadang hingga ia terbangun tengah malam dari tidurnya akibat rasa sakit tersebut. Setiap saya pulang kuliah dan itu sudah lewat petang ia selalu bertanya, “Yo, kira-kira kaki gw ini bisa cacat selamanya ga y a?” atau “ Kok ada bunyi kretek-kretek ya kalau kakinya gw digerakin” atau yang paling sering “Kapan ya gw bisa sembuh?”.
Saya jawab semua pertanyaannya sesuai apa yang saya pelajari di teksbook. Mulai struktur anatomi di daerah dengkul, kerusakan yang terjadi kalau ada trauma seperti itu, dan bagaimana munculnya nyeri yang berat dan lain-lain. Pokoknya kayak diskusi tutorial dengan satu orang yang superior gitu lah. Dan yang saya lihat darinya adalah wajah yang sangat yakin akan kebnaran ucapan saya. Dari wajahnya muncul pengharapan akan sesuatu yang dapat mengatasi kegelisahannya. Tak ada bantahan yang di utarakan sama sekali
Saya juga pernah mengalami suatu suasana sulit mengenai realitas kepercayaan di lapangan. Waktu itu kejadiaannya saat saya menjadi peserta PPK. Di akhir anamnesis di bangsal penyakit dalam pasien bertanya, “ Mas dokter, kira-kira ayah saya bisa sembuh ga ya?” Saya sejenak terdiam. Bingung untuk menjawabnya. Penyakit gagal jantung untuk pasien lansia tentunya sangat berat. Berat untuk mengatakan sesuatu yang membuat pasien dan keluarganya sedih. Tapi pasien dengan penuh kepercayaan terus menatap menunggu jawaban dengan penuh kepercayaan bahwa orang yang ia anggap dokter didepannya akan menjawab sebuah kebenaran.
Mungkin hal ini juga terjadi dengan hubungan dokter dengan pasiennya di seluruh dunia ini. Akan ada sebuah kepercayaan pasien terhadap dokter yang merawatnya. Bagi dokter yang bermental baik tentu akan menjawab kepercayaan ini dengan sebuah perlakuan yang akan menentramkan pasiennya. “Rawatlah pasienmu sebaik engkau merawat penyakitnya”. Kira-kira seperti itu kata Patch Adams
Sebuah pelajaran pagi itu sangat berarti. Karena saya paham bahwa pembentukan dokter yang baik tidak hanya sebagus nilai-nilai Indeks Prestasi saja. Tapi ada sebuah sisi pembangunan mental dokter yang harus dibangun dari sekarang.