Satrio W.S.
“Siapa yang masuk kedokteran karena disuruh oleh orang tua? “ Tanya salah seorang dosen senior
Sambil diam saya acungkan tangan. Begitu juga dengan beberapa teman saya.
(di ruang kuliah 1.10 FK UII, sekarang perpustakaan)

Kira-kira itulah kejadian yang saya ingat di hari-hari awal saya kuliah di Fakultas ini. Fakultas yang jumlah muridnya 217 orang dalam satu angkatan pada saat itu. Itulah jawaban yang saya berikan apabila ada dosen yang bertanya tentang hal itu.

Saat saya sekolah menegah pertama dulu, ayah saya berkata, “Yo, km kalau besar nanti jadi dokter ya. Jadi dokter itu enak. Ilmunya bisa kepake terus untuk menolong orang dan ga ada pensiunnya. Kalau jadi Polisi atau insinyur pas pension udah tidak bisa melakukan apa-apa. Sedangkan kalau kamu menjadi dokter, selagi kamu bisa menulis resep, kamu bisa selalu menolong orang”. Seperti adat kebanyakan saya jawab, “Iya, Pak”.

Menjadi dokter mungkin tak pernah terlintas dalam benak. Karena saya anggap dokter itu ga menarik. Walaupun saat di nasehati dulu, dalam hati saya meng-amini kebenaran kata-kata ayah. Saat sekolah menengah atas dulu, saya justru lebih tertarik untuk masuk Teknik Nuklir. Saya terinspirasi dari pendapat rekan guru Fisika SMA saya. Ia merupakan Laboran BATAN yang pekerjaannya meneliti tentang pengembangan nuklir.

Ia berpendapat, “ Indonesia akan menjadi negara yang sangat maju apabila menggunaka sumber energi dari nuklir ini. Alasannya karena dari nuklir kita dapat memperoleh enrgi yang besar tanpa modal yang besar, selain itu Indonesia punya Sumber daya alam sendiri, dan jumlah tenaga kerja yang besar dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia” Saya rasa seru bekerja di dalam laboratorium yang dikelilingi reactor nuklir..hehehe. Saya juga sempat ingin mencoba masuk angkatan. Tapi entah kenapa hingga masa pendaftaran ditutup saya saya enggan untuk berangkat mendaftar.

Beberapa hari kemudian, saat saya sampai di rumah sehabis acara perpisahan SMA, ayah memaggil. “Yo, kamu besok malam berangkat ke Jogja. Kamu harus sekolah disana. Nanti berangkatnya bapak yang menemani”. Lalu ku jawab, “ Iya pak”. Dalam hati saya berpikir ternyata ayah tidak main-main tentang rencananya memasukkan aku di fkultas kedokteran. Saya sempat menilai bahwa ayah saya teramat kolot dalam hal pendidikan. Ia hanya menyetujui pilihan jurusan yang menurutnya “terjamin” masa depannya. Tapi entahlah mungkin suatu saat ada benarnya.

Jadilah saya kemudian berangkat menuju Jogja dengan kereta api. Kelak di hari depan saya juluki kereta itu ‘kereta harapan’ karena mengangkutku menuju keinginanku, dokter. Setelah mencoba ujian saringan masuk, akhirnya saya diterima di FK UII.

Ada sebuah peristiwa yang kemudian merubah paradigma saya untuk menjadi dokter. Dalam perjalanan pulang silaturahmi Idulfitri dari rumah paman di Kutoarjo. Motor yang saya kendarai bersama kakak menabrak seekor kucing. Kakak saya lantas menyuruh saya membawa membawa kucing itu untuk dirawat dirumah. Sebelum saya gendong, saya periksa tubuh si Kucing. Tidak ada luka perdarahan, mungkin ada lecet itupun sedikit. Tapi sayang, ditengah perjalanan sang kucing wafat. Akhirnya kucing di kubur di halaman rumah.

Saat menatap kucing dipangkuan, saya berpikir, apa yang terjadi pada saya apabila yang kritis itu seorang manusia yang merupakan orang yang saya kenal. Saat seperti itu pasti yang dibutuhkan adalah seorang yang mampu menolong dan mengobati. Bukan seorang yang hanya sanggup menatap. Sejak saat itulah saya (coba) tertarik dengan dunia kedokteran……………………..
1 Response
  1. sekarang yang ada hanya pilihan menjalani atau menjalani.... hehe... jadi, pilihannya cuma itu.. =)


Silahkan Isi


ShoutMix chat widget